Powered by Blogger.

Followers

Chat Box

9K's Clock

Sunday, December 11, 2011

Perhatian
Bagi orang “pintar” catatan ini dapat membuat anda kesal, benci, dan marah.
Tapi bagi orang yang “cerdas”, maka ia akan tersenyum seraya menganggukkan kepala.
Maka sebelum membaca, harap pertimbangkan kembali.
Sebuah pendapat yang mungkin telah terbukti secara tidak langsung di dunia ini akan saya ungkapkan.
Saya berharap para pelajar, guru, mahasiswa, dosen, depdiknas, dan semua orang yang peduli pendidikan dapat membaca ini!
OK! Let`s begin
Suatu malam di sebuah masjid sebut saja masjid  ‘Fulan’. Ada percakapan antara seorang mahasiswa dan siswa SMA.
Pelajar         : Kak ajarin aku dong!
Mahasiswa : Ajarin apa?
Pelajar         : Ajarin Fisika
Mahasiswa : Waduh Fisika ya? (garuk-garuk kepala)
Pelajar         : Iya kak (pasang muka manis)
Mahasiswa : Kakak lupa tuh (nyengir kuda keluar)
Pelajar         : Lah kakak kan pas SMA anak IPA.
Mahasiswa : Kan kuliahnya Farmasi (-_-’)
Pelajar         : Yah tapi kan basicnya IPA. Kok bisa lupa sih kak.
Mahasiswa : Lah masa` di Farmasi ada pertanyaan tentang momentum.
Pelajar        : Iya sih.
Mahasiswa : Ya makanya kakak lupa. Nggak pernah dipake` lagi
Buat pembaca sekalian yang “pintar” pasti mulai geram dan mungkin ada yang langsung menutup page ini.
Tapi buat pembaca yang “cerdas” ia akan menganggukan kepala seraya melanjutkan membaca
OK!
Itulah sekelumit pembicaraan yang telah menjadi pokok pembahasan kali ini.
Belajar
Sebuah kata luar biasa. Kata yang melambangkan keinginan untuk maju.
Akan tetapi pada realitanya, sangat sedikit yang mengerti esensi belajar.
Yang “belajar lovers”  akan berkata : 
“Kita harus belajar pelajaran A, pelajaran B, pelajaran C, sampe pelajaran Z. Dengan begitu kita akan maju!”
Yang “tajir anti belajar” akan berkata:
“Ngapain belajar! Tinggal bayar aja dapet soal, dapet kunci jawaban, bahkan dapet 100.”
Yang “kurang mampu” akan berkata:
“Ngapain belajar! Tinggal kerja dapet duit! Toh belajar juga buat kerja dan dapat duit dan itu belum pasti dapet kerja!”
Yang “agamis males” akan berkata:
“Ngapain belajar, toh di alam kubur ga bakal ditanyai sin 25!”
Yah itulah segelintir dari sekian banyak tipe orang yang mungkin akan memberikan jawaban ketika disinggung dengan kata belajar.
Tak ada yang salah, karena semua sesuai realita! Dan semua memiliki pelajaran tersendiri
Bagi yang “belajar lovers” maka kita harus meniru semangatnya. Sebuah semangat untuk belajar akan menciptakan potensi untuk maju
Bagi yang “tajir anti belajar” maka kita harus mempelajari prinsipnya bahwa segala sesuatu di dunia ini masih bergantung uang. Dengan uang kita dapat menciptakan peluang untuk maju
Bagi yang “kurang mampu” maka kita harus mempelajari efisiensi pemikirannya. Bagaimana efisiensi waktu dan biaya dapat ditempuh tanpa belajar. Dengan pemikiran tersebut kita dapat meraih kesempatan untuk maju
Bagi yang “agamis males” maka kita dapat meniru pemikirannya yang sebenarnya benar. Bagaiman sebuah ilmu duniawi takkan menjadi penentu surga maupun neraka.
Dibalik itu semua, saya ingin memberitahu bagi yang belum tahu dan mengingatkan bagi yang sedang tidak ingat.
Ada dua penyebab dari sekian banyak penyebab mengapa seseorang tidak mendapatkan dampak belajar berupa kesuksesan dalam kehidupan.
  1. Ketakutan : Ketakutan terhadap kegagalan dalam belajar.
  2. Kepura-puraan : Kepura-puraan dalam belajar tentang sesuatu yang tidak disukai.
-Ranchoo, 3 IDIOTS-
Kedua hal tersebut telah benar-benar merusak jalan yang mudah hingga terlihat begitu sulit.
Kedua hal tersebut bagaikan batu karang yang menghalagin tenangnya alur air.
Sadar ataupun Tidak Sadar itulah realitanya.
Yang menjadi masalah utama di dunia pendidikan saat ini adalah kepura-puraan.
Ironisnya…. kepura-puraan ini bukan berasal dari segelintir orang
tetapi merupakan hasil penanaman ideologi yang berasumsi “manusia adalah mahluhk yang sempurna”
Maka pertama-tama saya tegaskan
“Tidak ada mahluhk yang sempurna”
Manusia diciptakan dengan berbagai keanekaragaman sifat, minat, fisik, mental, bakat dan faktor kehidupan lain.
Orang-orang “pintar” yang masih bertahan mulai merasa panas.
Tetapi orang-orang “cerdas” semakin penasaran dengan sebuah pernyataan yang aneh.
OK!
Pembaca pasti masih merasa bingung dengan kepura-puraan.
Kepura-puraan di sini adalah sebuah keterpaksaan mempelajari suatu pelajaran yang sama sekali tidak sesuai dengan minat maupun bakat!
Seorang anak memiliki kemampuan menciptakan sebuah robot dan ia sangat mencintai kemampuannya. Tetapi ia masih harus belajar tentang kurs mata uang
Seorang anak memiliki kemampuan untuk bermain sepak bola dengan luar biasa dan ia sangat mencintai sepak bola. Tetapi ia masih harus belajar jaringan meristem
Seorang anak memiliki kemampuan melukis dengan indah dan ia sangat mencintai melukis. Tetapi ia masih harus mempelajari tekanan.
Itulah kepura-puraan.
Mungkin anda berkata:
Seorang ahli robotika butuh mempelajari ekonomi untuk memasarkan produknya dengan baik. Lalu apa gunanya seorang marketing?Seorang pemain bola harus mempelajari biologi karena apabila ia cedera, ia tahu harus berbuat apa. Lalu apa gunanya dokter club?Seorang pelukis harus mempelajari fisika agar ia tahu seberapa keras penyangga lukisnya tidak rusak ketika ia gunakan untuk melukis. Lalu apa gunanya pabrik melakukan tes terhadap penyangga lukis produk mereka?
Manusia diciptakan beraneka ragam. Saling melengkapi, saling berkonstribusi.
Pertanyaan!
“Di dalam agama islam kan harus mempelajari ilmu sebanyak-banyaknya. Terus kenapa belajar itu-itu aja?”
Maka dengan lantang saya jawab:
“itu-itu aja? Sudahkah anda menguasai semua tentang pelajaran tertentu! Saya yakin belum. Dan jika pun sudah! Saya yakin anda akan menemukan hal rancu yang belum dijelaskan! Maka…. jelaskanlah! jelaskanlah sebagai sang penemu baru! Penemu yang berhasil menemukan jalan keluar dari hal-hal rancu!”
Intinya: Jangan beranggapan ilmu anda di suatu pelajaran sudah cukup. Karena sesungguhnya dengan rasa cukup itu, anda telah menutup cakrawala ilmu yang sungguh masih sangat luas!
Pertanyaan utama:
“Mengapa pemikiran ini tidak diterapkan?”
Saya berpikir dan akhirnya yakin bahwa bukan hanya saya yang berpikiran seperti ini. Tapi banyak orang lain. Akan tetapi ada satu penyebab mengapa ini tidak diterapkan.
Merasa aman
Siswa yang pintar merasa nyaman dengan nilai-nilainya yang sudah “terlanjur” tinggi.
Siswa yang malas merasa nyaman dengan situasi yang ada (kesantaian dan tak peduli terhadap bakatnya)
Guru-guru sudah merasa nyaman dengan gajinya
Pemerintah juga merasa tenang dengan posisinya.
Mereka sudah merasa tenang dengan suksesnya persentase UN yang tinggi.
Mereka tidak melihat realita bahwa saat ini SDM Indonesia memiliki kualitas yang kurang. Mereka kurang kompetitif karena banyaknya waktu yang terbuang untuk mempelajari pelajaran yang nyatanya tidak mereka gunakan saat masuk dunia kerja.
Maka saya seruka : “Keluarlah dari zona aman”
Karena sesungguhnya yang berani keluar dari zona amanlah, yang kemudian disebut  orang-orang yang luar biasa.
NB : Pembaca mungkin bertanya apa perbedaan orang “cerdas” dan “pintar”. Saya tidak akan menjawab. Tapi saya akan menyampaikan kata bijak dari seseorang yang bijak
“Jadilah orang yang cerdas dibandingkan orang yang pintar”


by miqdad on June 4, 2011

1 comments:

Achmad Ariyanto Hariman said...

Assalamu'alaikum semuanya.
Apa kabar nih?? udah lama gak ketemu nih, gmn sekolah & pelajarannya?? susah2 gak? kemaren semesteran gmn nilainya??
Kapan-kapan ngumpul bareng yuk, pengen ketemu sama yang lain nih hahahaha

(ternyata blog masih ada yang inget juga - -" hahaha)

Post a Comment